JAKARTA, KHATULISTIWAONLINE.COM –
Kedatangan Rizieq Shihab (HRS) yang bertepatan dengan Hari Pahlawan, 10 November yang lalu berhasil menarik perhatian dengan sambutan yang meriah oleh para pengikutnya. Ribuan orang memenuhi Bandara Soekarno-Hatta (Soetta). Selama berjam-jam pelayanan penerbangan di bandara utama Indonesia itu lumpuh total. Demikian pula dengan jalan tol menuju bandara yang dilaporkan macet sepanjang 9 km. Keriuhan penyambutan itu menunjukkan bahwa HRS terbukti masih memiliki pengikut yang fanatik dan tetap berpotensi menjadi tokoh yang berpengaruh dalam percaturan politik di Indonesia.
Sebagai tokoh, tingkat popularitas HRS relatif stabil bahkan cenderung meningkat dibandingkan tokoh-tokoh sipil lainnya yang menjulang saat Reformasi 1998. Nama HRS mulai dikenal sebagai pimpinan dari organisasi Front Pembela Islam (FPI) setelah jatuhnya rezim Orba Baru (Orba). Organisasi itu berdiri menyeruak di antara maraknya aksi mahasiswa dan kerap berposisi berhadap-hadapan dengan aksi-aksi tersebut (Wilson, 2018).
Isu yang diusung saat itu adalah bahaya laten komunis yang dianggapnya potensial bangkit lagi setelah jatuhnya Orba. Isu itu tetap terawat hingga saat ini, karena didukung oleh banyak pihak dari kalangan sipil dan juga militer. Dengan semboyan amar ma’ruf nahi munkar, FPI terlihat menonjol sebagai kelompok vagilante yang menertibkan tempat-tempat hiburan malam. Dengan dalih membantu kerja aparat kepolisian, aksi-aksi tersebut nyaris tanpa hambatan yang berarti.
Wikileaks (2006), sebuah situs yang kerap membocorkan rahasia negara-negara, dalam laporannya mencatat kebiasaan organisasi tersebut memperoleh dana dari kepolisian dan Badan Intelejen Negara (BIN). Nugroho Djayusman, mantan Kapolda Jakarta yang sering disebut memiliki kedekatan dengan FPI, dalam dokumen itu menyatakan bahwa FPI bukanlah organisasi ideologis yang signifikan, kecuali sikap mereka yang menetang perjudian, prostitusi, dan pornografi. Namun, dokumen itu juga menyimpulkan, tokoh-tokoh kepolisian maupun militer sudah kehilangan kontrol terhadap FPI.
Kemampuan FPI mengorganisasi diri pada akhirnya menjadi entitas organisasi masyarakat sipil yang khas dan mengundang kelompok-kelompok politik kepentingan untuk bekerja sama. Pada beberapa Pilkada dan Pilres, FPI terlibat aktif dalam aksi dukung-mendukung kontestan yang bertarung. Kendati kerap menyatakan ketidaksetujuan terhadap demokrasi dan mendukung gagasan khilafah, FPI berbeda dengan Hizbut Thahrir Indonesia (HTI) yang terang-terangan menolak sistem demokrasi.
Dalam hal ini, apa yang dilakukan FPI menjadi sah, jika merujuk pada substansi demokrasi mengenai kebebasan berserikat dan berpendapat. Bahkan Sukarno pada pidatonya 1 Juni 1945 di rapat Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mempersilakan pada kelompok Islamis untuk berjuang dalam demokrasi dengan menarik simpati rakyat dan menempatkan sebanyak-banyaknya wakil-wakil di parlemen agar dapat membuat regulasi yang islami.
Koridor demokrasi itu yang semestinya harus dijaga. Ketika pemerintahan sudah terbentuk melalui mekanisme yang demokratis, maka ia memiliki keabsahan wewenang yang harus dipatuhi oleh semua warga negara. Namun dalam perkembangannya, demokrasi pasca-Reformasi lebih mengarah pada bentuk simbolik-prosedural yang kehilangan substansinya. Kontestasi politik untuk memperoleh kekuasaan diwarnai dengan pola klientilisme yang pekat. Para oligark berhasil membajak demokrasi dengan kemampuan kapital yang dimilikinya. Dampaknya adalah semakin luasnya kerusakan ekologis untuk semakin memperkaya segelintir kelompok di negeri ini. (Winters, 2011).
Kondisi inilah yang mendegradasi kewibawaan pemerintah. Penyambutan HRS di bandara dan beberapa kegiatannya setelah itu berhasil menghimpun massa dalam jumlah besar, sementara situasi pandemi belum berakhir. Sebelumnya, pemerintah relatif memiliki kewibawaan yang tinggi untuk membuat aturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Aturan tersebut meski berimplikasi pada kemunduran ekonomi, tetap ditaati oleh masyarakat karena sadar dengan bahaya Covid-19.
Pusat-pusat perbelanjaan tutup, banyak pabrik yang berhenti beroperasi, hingga berbagai pembatasan kegiatan peribadatan. Mudik Lebaran yang biasanya meramaikan terminal-terminal transportasi darat, laut, maupun udara juga sepi senyap saat itu. Dampak pandemi sungguh luar biasa. Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), kemerosotan ekonomi, meningkatnya kriminalitas, hingga persoalan-persoalan ketegangan domestik rumah tangga adalah pengorbanan rakyat.
Negara bisa dengan tegas meminta pengorbanan itu untuk dapat berkonsentrasi mencari solusinya agar dampaknya tidak semakin memburuk. Lalu, mengapa pemerintah seperti kehilangan wibawa saat menghadapi HRS? Jika merujuk ke beberapa kebijakan pemerintah pada masa pandemi, ada banyak ketidakkonsistenan ditunjukkan. Di tengah pandemi pemerintah masih tetap bergeming melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah yang berpotensi memperluas penularan penyakit.
Belum lagi, beberapa regulasi kontroversial disahkan, seperti UU Minerba dan UU Cipta Kerja yang lebih berpihak pada investasi ketimbang buruh dan kelestarian lingkungan. Pengesahan regulasi tersebut memancing aksi massa dalam jumlah besar di berbagai daerah. Artinya, kerumunan massa dalam jumlah besar dan melanggar aturan protokol Covid-19 justru terjadi karena ambiguitas kebijakan politik yang dibuat oleh pemerintah sendiri.
Resiliensi demokrasi di Indonesia saat ini sedang dalam ujian berat. Soliditas kekuasaan yang meminimalkan oposisi mengundang kritik dari kelompok-kelompok masyarakat sipil yang sebelumnya mendukung Jokowi untuk menjadi presiden dua periode. Kritisisme ini yang sepertinya hendak dihadap-hadapkan, bukan dengan kekuasaan formal melainkan konflik horizontal.
HRS dengan berbagai aksinya secara empiris kerap bertentangan dengan visi transformasi demokrasi dari banyak kelompok masyarakat sipil lainnya. Pada saat terjadi pertentangan di antara masyarakat sipil, agenda-agenda oligarki dan neoliberalisme melenggang menuju tujuannya.
Dwi Munthaha mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional. (dtk/RIF)