JAKARTA,KHATULISTIWAONLINE.COM
Mantan Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian, Dorodjatun Kuntjoro Djakti, diperiksa KPK sebagai saksi kasus dugaan korupsi terkait Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI). Dia tak banyak bicara usai diperiksa.
“Tanya penyidik KPK saja,” kata Dorodjatun saat keluar dari gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (4/7/2019).
Dorodjatun sebenarnya dipanggil KPK sebagai saksi untuk tersangka Sjamsul Nursalim pada Selasa (2/7). Namun, saat itu Dorodjatun tak hadir sehingga pemeriksaannya dijadwalkan ulang.
Sjamsul sebelumnya ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait SKL BLBI ini bersama-sama dengan istrinya, Itjih Nursalim. Dia diduga melakukan tindakan yang merugikan negara bersama Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) terkait BLBI.
Kasus BLBI ini berawal pada 1998 ketika BPPN dan Sjamsul menandatangani penyelesaian pengambilalihan pengelolaan BDNI melalui Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA). Dalam MSAA tersebut, disepakati BPPN mengambilalih pengelolaan BDNI dan Sjamsul sebagai pemegang saham pengendali sepenuhnya bertanggung jawab menyelesaikan kewajibannya, baik secara tunai maupun berupa penyerahan aset.
Adapun jumlah kewajiban Sjamsul selaku pemegang saham pengendali (PSP) BDNI adalah Rp 47,258 triliun. Kewajiban tersebut dikurangi aset sejumlah Rp 18,850 triliun, termasuk di antaranya pinjaman kepada petani/petambak sebesar Rp 4,8 triliun.
Nah, aset senilai Rp 4,8 triliun ini dipresentasikan Sjamsul seolah-olah sebagai piutang lancar dan tidak bermasalah. Setelah dilakukan Financial Due Diligence (FDD) dan Legal Due Diligence (LDD), disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet sehingga dipandang terjadi misrepresentasi.
Negara, lewat BPPN, pun telah meminta Sjamsul mengganti kerugian tersebut, namun ditolak oleh Sjamsul. Singkat cerita, pada April 2004, tepatnya ketika BPPN dipimpin Syafruddin Arsyad Temenggung, dilakukan penandatanganan akta perjanjian penyelesaian akhir yang pokoknya berisi pemegang saham telah menyelesaikan seluruh kewajibannya. Padahal, dalam rapat kabinet terbatas Februari 2004, tak ada persetujuan terhadap usulan white off atau penghapusbukuan terhadap sisa utang petani tambak Rp 4,8 triliun itu.
Setelah itu, BPPN menyerahkan pertanggungjawaban aset pada Kementerian Keuangan yang berisi hak tagih utang petambak PT DCD dan PT WM yang kemudian oleh Dirjen Anggaran Kemenkeu diserahkan kepada PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA). Pada 24 Mei 2007, PPA melakukan penjualan hak tagih utang petambak plasma senilai Rp 220 miliar, padahal nilai kewajiban Sjamsul yang seharusnya diterima negara adalah Rp 4,8 triliun.
Jadi diduga kerugian keuangan negara yang terjadi sebesar Rp 4,58 triliun. KPK menduga Sjamsul dan Itjih sebagai pihak yang diperkaya Rp 4,58 triliun dalam kasus ini.(NGO)