JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Ledakan pabrik kembang api yang menewaskan 47 orang di Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten mengungkap beberapa fakta yang janggal. Kejanggalan yang dimaksud mulai dari adanya pekerja berusia di bawah umur hingga upah kerja tak layak.
Pabrik milik PT PT Panca Buana Cahaya Sukses ini juga berdiri di atas lahan yang jaraknya hanya sekitar 10 meter dari SMPN 1 Kosambi dan dekat dengan pemukiman warga. Fakta-fakta tersebut menuai pandangan buruk masyarakat terhadap si pemilik pabrik dan pemerintah daerah (pemda) setempat.
Ketika kebakaran dan ledakan terjadi, warga sekolah dan pemukiman terekam panik, berteriak dan berlarian. Gubernur Banten Wahidin Halim pun angkat bicara soal lokasi pabrik sekaligus gudang yang dekat dengan permukiman warga dan sekolah.
“Yang jadi kesulitan, begitu banyak pabrik, begitu banyak industri. Banyak izin dikeluarkan tapi tidak diimbangi dengan evaluasi. Tidak hanya di kabupaten tapi di provinsi. Kadang pengusaha menyalahgunakan pelayanan pemerintah yang baik, yang berakibat sekarang ini,” ujar Wahidin usai menjenguk korban di RSUD Kabupaten Tangerang, Jumat (27/10/2017).
“Memang ada persoalan di sana. Ketika saya wali kota (Tangerang), ada industri yang bersatu dengan kawasan permukiman. Ketika kita melakukan tindakan, memang berhadapan dengan tenaga kerja. Jadi memang pemerintah juga belum mampu terhadap penertiban ini karena memang ada konsekuensi masalah tenaga kerja,” sambung Wahidin.
Wahidin juga menyoroti PT Panca Buana Cahaya Sukses yang mempekerjakan anak-anak di bawah umur. Dia mengatakan fakta tersebut didapat berdasarkan hasil ivestigasi. “Hasil investigasi kita, kita lihat ada pelanggaran, anak di bawah umur,” kata Wahidin.
Kemudian, dia juga membahas perihal upah pekerja yang dinilainya tak berimbang dengan tanggung jawab kerja di pabrik kembang api tersebut. Wahidin menyebut sistem di pabrik tersebut menzalimi para karyawannya. “Upah rendah,”sambung dia.
Anggota Komisi IX DPR Irma Chaniago bahkan menyebut sistem yang berlaku di pabrik kembang api itu menzalimi pekerjanya. Cerita mengenai kehidupan para karyawan pabrik didapat Irma saat menjenguk korban luka-luka.
“Hampir semua yang saya wawancara tadi itu buruh harian lepas, kerja dari jam 8 pagi sampai 5 sore. Rata-rata hanya digaji antara Rp 20- 60 ribu per hari tanpa uang makan. Ini bukan lagi perbudakan ini ini zalim. Yang saya ingin sampaikan adalah Disnaker tidak bertanggung jawab,” tegas Irma.
“Tidak ada pintu darurat dan pintu pun itu dikunci. Dan hanya boleh dibuka pas makan siang. Pada saat makan siang pintu dibuka,” Irma melanjutkan.
Komisioner Komnas HAM Sianne juga mengaku sempat mewawancarai korban luka-luka. Sianne menyampaikan cerita dari para pekerja, antara lain buruh di pabrik kembang api itu mayoritas kaum perempuan, ibu dan anak. Mereka yang ditempatkan di bagian packing kembang api ditargetkan menyelesaikan 1.000 pack untuk mendapat upah Rp 40 ribu perhari.
“Kami sudah wawancara dengan korban. Mereka menyatakan banyak pekerja ibu dan anak-anak. Karena untuk bagian packing tidak ada kontrak, tidak ada aturan apa pun, yang penting borongan lepas. Satu kelompok 5 orang itu target 1 hari seribu pack. Kalau dapat seribu, per orang dapat Rp 40 ribu per hari. Kalau tidak mencapai seribu, dipotong ada sampai hanya 20 ribu per hari,” terang Sianne.
Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Hanif Dakhiri mengaku telah mengirim tim untuk mengecek kebenaran cerita-cerita para pekerja itu. Hanif meminta jajarannya memeriksa semua kemungkinan pelanggaran di pabrik itu. Selain soal dugaan pekerja anak, juga terkait keselamatan kerja.
“Saya sudah tugaskan pengawas tenaga kerja termasuk Dirjen Pengawasan sudah turun ke sana. Kita meminta untuk periksa semua kemungkinan termasuk kalau ada pelanggaran soal pekerja anak, pelanggaran norma, keselamatan kerja,” kata Hanif di gedung Kemenaker, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Jumat (27/10/2017).
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yambise turut mengomentari kebijakan pabrik yang mempekerjakan anak-anak. Meski Undang-undnag Ketenagakerjaan memperbolehkan anak usia 13 sampai 15 tahun bekerja, ujar Yohana, namun sisi keamanan dan keselamatan anak tetap harus menjadi hal utama.
“Walaupun UU Ketenagakerjaan memperbolehkan anak yang berusia 13–15 tahun untuk dipekerjakan, namun untuk pekerjaan ringan. Sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial anak,” ujar Yohana dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom, Sabtu (28/10).
“Menurut saya, bekerja di pabrik petasan sangat membahayakan anak dan dapat mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik anak,” katanya. (DON)