TANGERANG, khatulistiwaonline.com
Terkait keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mengembalikan pengelolaan air ke UU No 11 Tahun 1974, Ketua LSM Gabungan Aksi Rakyat untuk Konstitusi Korupsi Kolusi dan Nepostisme (GARUK KKN) Agus Sahrul Rijal, meminta segala bentuk swastanisasi pengolahan air di wilayah Tangerang, yaitu di Kota dan Kabupaten Tangerang dihentikan.
“Mencermati keputusan MA, maka segala bentuk swastanisasi pengolahan air harus dihentikan dan dikembalikan ke pemerintah daerah dalam hal ini melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM),” ujar Agus kepada wartawan, belum lama ini.Lebih jauh Agus menyatakan, saat ini ada beberapa perusahaan swasta yang beroperasi dalam bidang pengelolaan air di Kabupaten dan Kota Tangerang. Seperti PT. Aetra Air Tangerang yang beroperasi di Kabupaten Tangerang dan PT. Moya Indonesia yang beroperasi di Kota Tangerang.
“Setahu kami, PT. Aetra Air Tangerang melakukan pengelolaan air dari hulu sampai hilir. Artinya perusahaan ini mengelola air, menyalurkan hingga menjualnya ke masyarakat tanpa ada kerjasama dengan PDAM Tirta Kerta Raharja (TKR) milik pemerintah kabupaten (Pemkab) Tangerang. Sementara PT. Moya Indonesia mengelola air dan mendistribusikan, namun melibatkan PDAM Tirta Benteng (TB) milik Pemkot Tangerang sebagai operator yang mencarikan konsumen dan menagih jasa penjualan dan pelayanan ke konsumen,” kata Agus.
Saat ini tambah Agus, pihaknya masih melakukan kajian dan mempelajari keputusan MA tersebut. Na-mun jika mengacu dengan kebijakan Pemprov DKI, kemungkinan besar peran swasta akan diambil alih oleh pemerintah daerah (Pemda) dalam pengelolaan air. “Karena memang UU No 11 Tahun 1974 mewajibkan pengelolaan air jadi tanggung jawab Pemda. Seharusnya jika Pemrov DKI seperti itu, maka Pemkab Tangerang dan Pemkot Tangerang juga seperti itu, terutama yang dilakukan PT. Aetra, karena mereka tidak sama sekali melibatkan PDAM TKR dalam usahanya tersebut,” jelas Agus.Hal senada diungkapkan oleh Hendri Zein, Ketua Lembaga Aksi dan Studi Kebijakan Publik Indonesia (LAKSI). Menurutnya, swastanisasi air merupakan bentuk penelantaran pemerintah terhadap hak dasar rakyat untuk mendapatkan pelayanan dalam kebutuhan hidup utama, yaitu memperoleh air bersih.
“Harus memang swastanisasi ini dilarang, karena merugikan masyarakat. karena harga air yang ditawarkan tentunya lebih mahal dari milik PDAM. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar para konsumen di DKI Jakarta melakukan gugatan ke MA dan mereka ternyata menang. MA mengabulkan permohonan mereka, karena pengelolaan air menjadi tanggung jawab pemerintah,” ungkap Hendri.Lebih jauh Hendri menyatakan, Pemkab Tangerang harus melakukan penghentian terhadap operasional PT. Ae-tra Air Tangerang yang jelas-jelas melakukan swastanisasi murni.
“Mereka mengelola, menyalurkan dan menagih penjualan air ke masyarakat langsung tanpa melibatkan PDAM TKR. Ini jelas menyalahi kententuan jika mengacu UU No 11 Tahun 1974,” tegasnya.Sementara itu, PT. Aetra Air Tangerang menyatakan memiliki dasar hukum yang jelas dalam melaksanakan usaha air bersih di Kabupaten Tangerang. Hal itu diungkapkan Humas PT. Aetra Air Tangerang, Ira Indirayuni. “PT. Aetra Air Tangerang telah memenuhi enam prinsip dasar pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan oleh MA dalam putusannya yang mengembalikan pengolaan air ke UU No 11 Tahun 1974,” kata Ira melalui whatsapp kepada wartawan.Ira menambahkan, kerjasama antara Aetra Tangerang dan Pemkab Tangerang telah berlangsung sebelum pembatalan UU No. 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air (SDA) dan hali itu akan tetap dihormati hingga akhir masa kerjasama.
“Saat ini payung hukum kerjasama pemerintah swasta antara Aetra Tangerang dan Pemkab Tangerang adalah PP No 122 Tahun 2015 yang merupakan peraturan pelaksana UU No 11 Tahun 1974,” katanya.Lebih lanjut Ira menyatakan, dalam hal pelayanan, Aetra Tangerang telah memberikan akses air minum perpipaan kepada sebanyak 475.764 warga Kabupaten Tangerang, yang sebelumnya sama sekali belum terjangkau oleh pelayanan air minum perpipaan PDAM TKR.
“Aetra Tangerang juga menyuplai air curah kepada PDAM TKR untuk membantu perluasan akses terhadap air minum perpipaan,” ujarnya.Ira menjelaskan, enam prinsip dasar batasan pengelolaan sumber daya air, yaitu pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu, mengesampingkan apalagi meniadakan hak rakyat atas air.
“Negara harus memenuhi hak rakyat atas air, dan akses terhadap air adalah salah satu hak asasi tersendiri; kelestarian lingkungan hidup sebagai salah satu hak asasi manusia sesuai dengan pasal 28 H ayat 1 UUD 1945,” urainya. Menurutnya, pengawasan dan pengendalian oleh negara atas air sifatnya mutlak; prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah BUMN atau BUMD,dan pemerintah masih dimungkinkan untuk memberikan izin kepada swasta untuk melakukan pengusahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu dan ketat.(CAN)