JAKARTA,KHATULISTIWAONLINE.COM – Seorang mahasiswa, Indriani Niangtyasgayatri, menggugat UU Peradilan Agama ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena keberadaan Pengadilan Agama hanya diperuntukkan bagi orang Islam semata. Kasus ini bukan hal baru. Pada 2008, gugatan serupa pernah dilayangkan juga ke MK.
Pada 2008, warga Serang, Banten, Suryani menggugat pasal yang serupa ke MK. Pasal yang digugat adalah Pasal 2 dan Pasal 49 UU Peradilan Agama. Pasal 2 berbunyi:
Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam.Undang-Undang ini.Sedangkan Pasal 49 berbunyi:
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan; waris; wasiat; hibah; wakaf; zakat; infaq; shadaqah; dan ekonomi syari’ah.
Bedanya, Suryani menilai UU itu malah mengerdilkan hak-hak orang Islam.
“Jadi, jelaslah bahwa ketentuan UU Peradilan Agama di atas, sangat nyata telah merugikan dan atau berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon dan juga seluruh umat Islam di Indonesia,” ujar Suryani dalam putusan MK , Rabu (13/5/2020).
Namun MK tegas menolak permohonan tersebut.
“Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama tidak bertentangan dengan Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945,” ujar majelis yang diketuai Jimly Asshiddiqie.MK berpendapat Indonesia bukan negara agama yang hanya didasarkan pada satu agama tertentu. Namun Indonesia juga bukan negara sekuler yang sama sekali tidak memperhatikan agama dan menyerahkan urusan agama sepenuhnya kepada individu dan masyarakat.
“Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa yang melindungi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing,” ujar Jimly.Dalam hubungannya dengan dasar falsafah Pancasila, hukum nasional harus menjamin keutuhan ideologi dan integrasi wilayah negara, serta membangun toleransi beragama yang berkeadilan dan berkeadaban. Dengan demikian, hukum nasional dapat menjadi faktor integrasi yang merupakan alat perekat dan pemersatu bangsa.
“Pelayanan negara kepada warga negara tidak didasarkan pada ukuran besar (mayoritas) dan kecil (minoritas) pemeluk agama, suku ataupun ras. Jika masalah pemberlakuan hukum Islam ini dikaitkan dengan sumber hukum, maka dapatlah dikatakan bahwa hukum Islam memang menjadi sumber hukum nasional, tetapi hukum Islam bukanlah satu-satunya sumber hukum nasional, sebab selain hukum Islam, hukum adat, dan hukum barat, serta sumber tradisi hukum lain pun menjadi sumber hukum nasional,” papar Jimly.
Oleh sebab itu, hukum Islam dapat menjadi salah satu sumber materiil sebagai bahan peraturan perundang-undangan formal. Hukum Islam sebagai sumber hukum dapat digunakan bersama-sama dengan sumber hukum lainnya.
“Sehingga menjadi bahan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai hukum nasional,” terang Jimly.
MK berpendapat bahwa ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24A ayat (5) UUD 1945, menunjukkan bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu dari empat lingkungan peradilan yang berwenang menegakkan hukum dan keadilan. Yang ruang lingkup dan batas kompetensinya ditentukan oleh undang-undang.
“Oleh sebab itu, pengaturan Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945,” cetus Jimly.
Setelah 12 tahun berlalu, kasus serupa kembali diajukan ke MK. Apakah MK akan tetap dengan pendiriannya atau berubah? Permohonan Indriani masih diproses di MK dan belum ditentukan kapan akan disidangkan.(DON