JAKARTA,KHATULISTIWAONLINE.COM
Islamic Science Research Network (ISRN) Uhamka melakukan penelitian terhadap waktu salat di Indonesia. Hasilnya, ISRN Uhamka menyatakan ada perbedaan waktu yang cukup mencolok di waktu Salat Subuh dan Salat Isya.
Penelitian dilakukan di sejumlah titik di Indonesia sejak 2017 lalu. Metode pengambilan data menggunakan Sky Quality Meter (SQM).
Verifikasi menggunakan 7-8 jenis sensor (kamera). Sedangkan nama algoritme proses data SQM adalah Algoritme Saksono.
Direktur ISRN Uhamka Tono Saksono menjelaskan waktu Salat Subuh dimulai saat fajar terbit dan diakhiri saat matahari terbit. Menurut Tono, Salat Subuh seharusnya dimulai saat sun depression angle atau DIP berada di 13,3 derajat. DIP merupakan istilah untuk menjelaskan posisi matahari saat berada di bawah ufuk.
“Matahari sebetulnya masih di bawah ufuk, tapi atmosfer sudah merambatkan cahaya, jadi sudah mulai terang. Itulah fajar, saat masuknya subuh. Nah itu kira-kira terjadi saat matahari berada di bawah kira-kira 13,3 derajat,” kata Tono saat dihubungi, Jumat (10/5/2019).
Namun, sambung Tono, pemerintah menetapkan awal waktu Salat Subuh saat matahari berada pada DIP 20 derajat. DIP yang ditetapkan pemerintah, kata dia, berbeda sekitar 6,7 derajat dengan hasil penelitian ISRN Uhamka.
“Posisi matahari di bawah ufuk (horizon), dinyatakan dalam satuan derajat sudut. Sering disebut juga DIP. Jadi kriteria pemerintah saat ini, saat matahari berada pada DIP (sun depression angle) 20 derajat, itulah saat fajar muncul, atau waktu awal Subuh,” ujarnya.
Setiap 1 derajat sama dengan perbedaan waktu sekitar 4 menit. Jika merujuk angka perbedaan DIP sebesar 6,7 derajat, maka perbedaan waktu Salat Subuh di Indonesia dinilai lebih awal sekitar 26 menit.
“Kira-kira (Waktu Salat Subuh) terlalu cepat 26 menit,” ujar Tono.
Perbedaan juga ditemukan di waktu Salat Isya. Tono menyebut waktu Salat Isya di Indonesia lebih lambat sekitar 19 menit.
“Kalau waktu Isya, karena waktu Isya ketentuan dari pemerintah itu 18 derajat bukan 20 derajat. Jadi kalau 18 derajat itu kan 74 menitan dikurangi 54 menit, kira-kira 19 menit terlalu lambat,” ujarnya.
Dimintain tanggapan soal hasil penelitian ISRN Uhamka, Ketua MUI Bidang Infokom Masduki Baidlowi mengaku sudah mendengarnya. Namun, menurut Masduki, sejumlah pihak meragukan hasil penelitian itu.
“Ya saya dengar juga begitu, tetapi hasil penelitian itu belum diverifikasi secara ilmiah, sehingga banyak pihak terutama dari stake holder umat belum percaya atas hasil penelitian tersebut,” ujar Masduki saat dimintai tanggapan secara terpisah.
Masduki menghargai penelitian yang dilakukan oleh ISRN Uhamka. Penelitian itu disebut Masduki menunjukkan kegairahan umat Islam dalam aktivitas keilmuan.
“Sebagai sebuah hasil penelitian ilmiah, itu harus kita hargai. Artinya, kegairahan untuk melakukan penelitian sebagai aktivitas keilmuan bagi pusat-pusat studi keislaman itu sangat bermanfaat. Kemajuan penelitian-penelitian ilmiah itu menjadi salah satu tanda dari keadaban umat. Semakin banyak penelitian ilmiah berarti umat semakin maju dan semakin beradab,” ujar Masduki.
Selain itu, Masduki juga menyarankan hasil penelitian ISRN Uhamka disosialisasikan ke berbagai pusat kegiatan keagamaan. Hal itu dilakukan untuk memverifikasi hasil penelitian yang menyebut ada perbedaan waktu salat.
“Terhadap hasil penelitian yang menyatakan waktu subuh lebih cepat mestinya hal itu segera dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: Seminar, diskusi ilmiah dan sosialisasi lainnya ke pusat-pusat kegiatan umat seperti di MUI, Muhammadiyah, NU dan lain-lainnya, termasuk ke Kemenag tentunya. Tujuannya, untuk menguji kesahihan dari hasil penelitian tersebut agar tercapai ittifaq atau setidaknya ada kata taslim baik dalam metodologi atau substansi,” imbuhnya.(NOV)