Bamako –
Presiden Mali mengatakan ia mundur dari jabatannya untuk menghindari “pertumpahan darah”. Pernyataan ini ia sampaikan beberapa jam setelah penangkapannya oleh pasukan dalam kudeta tiba-tiba yang terjadi menyusul krisis politik selama berbulan-bulan di negara Afrika Barat itu.
Seperti dilansir dari AFP, Rabu (19/8/2020), tentara pemberontak menahan Presiden Mali Ibrahim Boubacar Keita dan Perdana Menteri Boubou Cisse pada Selasa (18/8) sore. Mereka membawa keduanya ke pangkalan militer di kota Kati, dekat ibu kota Bamako, yang mereka rebut pagi itu.
Kerumunan massa di pusat kota, berkumpul untuk menuntut pengunduran diri Keita. Mereka menyemangati para pemberontak saat mereka menuju kediaman resmi pria berusia 75 tahun itu.
Keita tampak tenang ketika dia muncul di siaran televisi pemerintah setelah tengah malam waktu setempat, untuk menyatakan pembubaran pemerintah dan majelis nasional, dan mengatakan dia tidak punya pilihan selain mengundurkan diri dengan segera.
“Jika menyenangkan elemen tertentu dari militer kita untuk memutuskan ini harus diakhiri dengan intervensi mereka, apakah saya benar-benar punya pilihan?” kata Keita tentang peristiwa hari itu.
“(Saya harus) tunduk pada itu, karena saya tidak ingin ada pertumpahan darah,” sambungnya.
Tidak jelas apakah Keita masih ditahan di pangkalan Kati, yang juga merupakan lokasi kudeta tahun 2012, yang membawanya ke tampuk kekuasaan.
Negara-negara tetangga, Prancis dan Uni Eropa memperingatkan soal setiap transfer kekuasaan yang tidak konstitusional saat kudeta terjadi pada hari Selasa (18/8).
Sementara itu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menuntut “pembebasan segera dan tanpa syarat” Keita dan Cisse karena para diplomat di New York mengatakan Dewan Keamanan akan mengadakan pembicaraan darurat pada hari Rabu (19/8).
Komunitas Ekonomi untuk Negara-negara Afrika Barat (ECOWAS) mengutuk kudeta tersebut dalam sebuah pernyataannya. ECOWAS berjanji untuk menutup perbatasan darat dan udara ke Mali dan mendorong sanksi terhadap “semua pemberontak dan mitra serta kolaborator mereka”.
Blok yang beranggotakan 15 negara itu – termasuk Mali – juga mengatakan akan menangguhkan negara itu dari badan pembuat keputusan internalnya.(MAD)