JAKARTA,KHATULISTIWAONLINE.COM
KPU akan melarang eks terpidana korupsi untuk nyaleg. Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi (MK) membolehkan dengan alasan hak politik bagian dari hak asasi. Bagaimana harus menyikapinya?
“Polemik ini pada dasarnya menunjukkan cara berhukum yang masih konservatif, sangat positivistik dan kurang kreatif. Dikatakan konservatif, positivistik dan kurang kreatif karena para pihak masih mengandalkan satu-satunya cara untuk menyelesaikan permasalahan dalam negara hanya melalui penyusunan norma dalam peraturan perundang-undangan,” kata ahli perundang-undangan, Bayu Dwi Anggono, Kamis (7/6/2018).
Padahal berhukum di masyarakat sebenarnya bukan hanya soal peraturan perundang-undangan, melainkan manusia-manusia dalam negara hukum juga perlu aktif mencari solusi alternatif dalam hal terjadi kebuntuan hukum yang akut. Alternatif yang dimaksud di antaranya dapat membuat konsensus atau kesepakatan yang sebenarnya juga merupakan produk hukum yang mengikat bagi para pihak yang membuat konsensus atau kesepakatan tersebut.
“Salah satu solusi tersebut adalah KPU mengundang seluruh Partai Politik peserta Pemilu 2019 untuk bersama-sama membuat dan menandatangani deklarasi atau kesepakatan untuk tidak mencalonkan mantan terpidana korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak sebagai calon anggota DPR dan DPRD,” cetus Direktur Puskapsi Universitas Jember itu.
Bayu meyakini parpol peserta Pemilu 2019 tidak akan keberatan menandatangani deklarasi tersebut. Sebab dalam berbagai pernyataannya di media selama ini mereka mendukung ide baik KPU ini.
“Deklarasi yang akan ditandatangani oleh semua ketua umum Parpol dengan disaksikan KPU dan rakyat secara luas ini pada dasarnya juga dapat dianggap sebagai hukum yang mengikat para pihak yang menandatanganinya. Jika ada Parpol yang menolak menandatangani deklarasi, maka Parpol tersebut dianggap melakukan kebohongan publik dan dipastikan akan mendapat hukuman setimpal dari publik yaitu dikampanyekan untuk tidak dipilih dalam Pemilu,” pungkas Bayu.
Sebagaimana diketahui, dalam putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015, MK membolehkan eks terpidana nyaleg sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidan. Vonis ini diputus pada 9 Juli 2015.
“Seseorang yang telah menjalani hukuman dan keluar dari penjara atau lembaga pemasyarakatan pada dasarnya adalah orang yang telah menyesali perbuatannya, telah bertaubat, dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya. Dengan demikian, seseorang mantan narapidana yang sudah bertaubat tersebut tidak tepat jika diberikan hukuman lagi seperti yang ditentukan dalam Pasal 7 huruf g UU 8/2015,” kata MK dalam pertimbangan hukumnya. (DON)