TANGERANG, KHATULISTIWA
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Januari 2016, diketahui bahwa ada beberapa pekerjaan di Perusahaan Umum (Perum) Lembaga Penyelengaraan Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI) atau yang dikenal sebagai Air Navigasi (Airnav) yang diduga menyalahi ketentuan dalam pelaksanaannya, sehingga merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah
Pertama, Pengadaan dan Pelaksanaan Pekerjaan Penambahan Workstation E-JAATS di Bandara Soekarno Hatta (Soetta) sebesar Rp 128 miliar lebih. Di mana dalam rekomendasinya BPK menyarankan Menteri BUMN meminta pertanggungjawaban Direksi Perum LPPNPI atas proses pelelangan dan pelaksanaan kontrak pekerjaan tersebut yang tidak sesuai ketentuan. Direksi Perum LPPNPI juga diminta untuk meminta pertanggungjawaban dan memberikan sanksi kepada panitia pelelangan project tersebut.
Kedua, pengadaan dan pelaksanaan pekerjaan Upgrade ATC System Eurocat-X sebesar Rp 63 miliar lebih untuk MATSC Makasar, dimana dalam pekerjaan ini BPK juga menyarakan memberikan sanksi kepada panitia lelang dan memberikan sanksi kepada PT. TBR selaku pemenang tender karena melaksanakan pekerjaan yang tidak sesuai kontrak dan ketentuan pengadaan barang dan jasa.
Ketiga, pengadaan dan pemasangan PSR di 1 Lokasi dan MSSR mode S di 3 lokasi sebesar Rp 117 miliar lebih, serta ke empat project perjanjian kerjasama Perum LPPNPI dengan The Mitre Corpotarion dan NATS Service (Asia Pac) Pte Ltd, yaitu project konsultasi sebanyak 2 project yang nilainya mencapai US$ 2.313.287 atau mencapai Rp 30 miliar lebih kalau dihitung kurs 1$ US sebesar Rp 13 ribu. Jika dihitung dari total ke empat project ini, maka potensi kerugian negara bisa mencapai Rp 340 miliar lebih.
Terkait kerugian negara ini, Ketua LSM Garuk KKN Agus Sahrul Rijal menyatakan, bahwa hal tersebut menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres di BUMN yang mengelola Navigasi Penerbangan di Indonesia tersebut. “Angka Rp 340 miliar tersebut bukan nilai yang sedikit, kalau BPK menemukan adanya kesalahan proyek-proyek tersebut, maka ada indikasi kuat adanya “permainan” dalam pelaksanaan tender dan pengerjaan proyek tersebut, dan aparat penegak hukum, baik itu polisi, kejaksaan atau kalau perlu KPK turun tangan menyelidiki kasus ini,” katanya.
Lebih jauh Agus menilai BUMN yang berkantor pusat di Kota Tangerang ini, harus terbuka dan menjelaskan kenapa ada temuan BPK sebesar itu, karena bukan tidak mungkin terjadinya penyimpangan yang melibatkan banyaknya oknum pejabat dan pihak yang berkepentingan. “Kami sudah mengantongi bukti LHP BPK dan beberapa dokumen penting lainnya terkait persoalan di Perum LPPNPI. Kita akan melaporkan masalah ini ke aparat penegak hukum. Kemungkinan ke KPK karena nilai kerugian yang fantastis ,” tegas Agus.
Sementara itu, saat dikonfirmasi terkait temuan LSM Garuk KKN ini, Manager Humas Perum LPPNPI, Yohanes Sirait mennyatakan beberapa proyek yang ditender oleh Perum LPPNPI pada tahun 2015 tersebut tidak ada yang jadi masalah. “Persoalan tender proyek yang dipersoalkan oleh kawan-kawan Aliansi LSM Tangerang sudah clear, jadi tidak ada masalah,” katanya.
Yohanes membenarkan perihal yang dipersoalkan oleh Aliansi LSM Tangerang tersebut bersumber dari LHP BPK. “Memang dalam LHP BPK ada beberapa catatan, dan hal ini sudah vlear, karena kami memberikan klarifikasi ke BPK,” ujarnya.
Menanggapi pernyataan Manager Humas AirNav Indonesia tersebut, Edwin Salhuteru, SH salah seorang praktisi hukum kepada Khatulistiwa menyebutkan, apabila ada dugaan tindak pidana yang merugikan Negara atas proyek yang telah dilaksanakan, maka tidak hanya sebatas diberiikan sanksi secara internal, tetapi harus ditindaklanjuti secara hukum dengan pemeriksaan yang lebih intensif oleh BPK atau lembaga lain yang berkompeten. Hal itu untuk dapat ditindaklanjuti dan atau diproses sesuai dengan hukum yang berlaku dengan meminta pertanggungjawaban hukum dari pihak terkait, sehingga kerugian Negara dapat diminimalisir. (NGO)