JAKARTA,KHATULISTIWAONLINE.COM
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta ikut dalam demo menolak RUKHP di depan gedung DPR. Ketua AJI Jakarta Asnil Bambani Amri menilai RKUHP akan membungkam pers.
“Kita terlibat dalam aksi ini, kita khawatir ini akan menjadi pembungkaman terhadap pers. Aturan ini aturan kolonial. Mereka bilang ini bukan aturan kolonial lagi karena direvisi, tapi isi itu lebih kolonial dari kolonial,” kata Asnil di depan gedung DPR, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Senin (16/9/2019).
Asnil mengatakan ada 10 pasal di RKUHP yang dinilai akan membungkam pers. Pertama, Pasal tentang Penghinaan terhadap Presiden atau wakil Presiden.
“Jadi jika kawan-kawan wartawan menulis nanti dibilang menghina, kita akan berada di dalam ancaman jeruji besi. Kedua, penghinaan terhadap pemerintah. Jurnalis bekerja untuk mengkritisi eksekutif. Jika itu dianggap menghina, kita akan terancam penjara,” ujarnya.
Ketiga, Pasal tentang Hasutan Melawan Penguasa. Keempat, Pasal tentang Penyiaran Berita Bohong. Asnil menegaskan penyelesaian perkara soal pers merupakan ranah Dewan Pers.
“Tapi kemudian jika undang-undang ini berlaku, ini kita bisa dibilang menyebarkan berita palsu. Penjara juga akan mengancam kita,” tuturnya.
Kelima, Pasal tentang Pemberitaan Tidak Pasti. Asnil mencontohkan berita soal cuaca.
“Artinya ketidakpastian, misalkan kita menulis berita tentang proyeksi cuaca sajalah misalnya. Artinya cuaca tidak pasti kan, bagaimana cuaca besok apakah hujan atau tidak. Ketika ternyata besok tidak hujan, kita kena, artinya bisa kita dipenjarakan juga.
Keenam, Pasal tentang Penghinaan terhadap Pengadilan. Ketujuh, Pasal tentang Penghinaan terhadap Agama.
“Kemudian itu (kedelapan Pasal) Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum atau Lembaga Negara. Misalkan kawan-kawan di sini mengkritisi bagaimana DPR tidak mendengar masukan publik, itu sudah bisa kena pasal ini lagi nih,” tuturnya.
Kesembilan, Pasal tentang Pencemaran Nama Baik. Kesepuluh, lanjutnya, Pasal tentang Pencemaran Orang Mati.
“Yang lebih menarik yang terakhir itu adalah pencemaran orang mati. Ini paling lucu sebenarnya. Jadi ada nama baik orang mati yang diatur dalam pasal ini. Jadi, ketika kita mengkritisi, misalkan Soeharto, kemudian keluarga Soeharto nggak terima, itu bisa kena sebagai pencemaran nama baik orang mati,” pungkasnya.(VAN)